Menurut Bob
Talbert , “Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan
mereka apa yang berharga/utama adalah yang terbaik” (Teaching kids to count
is fine but teaching them what counts is best).
Seorang
pendidik/guru, dalam menjalankan tugas mulia tersebut, tidak
terlepas perannya juga sebagai seorang pemimpin pembelajaran, dalam
hal ini guru seringkali dihadapkan pada situasi sulit dan dilematis, yang
mengharuskan mereka untuk mengambil suatu keputusan. Dalam kenyataannya, sering
pula keputusan tersebut melibatkan kepentingan dari pihak yang sama-sama benar,
tapi saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Pemikiran seperti apa
yang akan melandasi dalam pengambilan keputusan oleh seorang guru?
Lalu apakah ada keraguan atas keputusan yang dibuat setelah
mengambil keputusan tersebut? Mungkinkah keputusan yang dibuat akan mampu
mengakomodir kepentingan banyak orang yang terlibat di dalamnya? Semua ini akan
dijawab dalam seni berpikir dan menganalisis sebuah situasi untuk membuat keputusan
yang baik. Seni dan keterampilan berpikir analisis kritis ini penting bagi
seorang guru karena guru berperan dalam pengambilan keputusan sebagai pemimpin
pembelajaran.
Situasi
dilema etika adalah hal berat yang sering kali harus dihadapi, pada situasi ini
akan ada nilai-nilai kebajikan mendasari yang bertentangan seperti cinta dan
kasih sayang, kebenaran, keadilan, kebebasan, persatuan, toleransi, tanggung
jawab dan penghargaan akan hidup. Secara umum ada pola, model, atau paradigma
yang terjadi pada situasi dilema etika yang bisa dikategorikan sebagai berikut:
1.
Individu lawan masyarakat (individual vs community).
Dalam paradigma ini ada pertentangan antara individu yang berdiri sendiri
melawan sebuah kelompok yang lebih besar di mana individu ini juga menjadi
bagiannya. Bisa juga konflik antara kepentingan pribadi melawan kepentingan
orang lain, atau kelompok kecil melawan kelompok besar
2.
Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy).
Dalam paradigma ini ada pilihan antara mengikuti aturan tertulis atau tidak
mengikuti aturan sepenuhnya. Pilihan yang ada adalah memilih antara keadilan
dan perlakuan yang sama bagi semua orang di satu sisi, dan membuat pengecualian
karena kemurahan hati dan kasih sayang.
3.
Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty).
Kejujuran dan kesetiaan seringkali menjadi nilai-nilai yang bertentangan dalam
situasi dilema etika. Kadang kita perlu untuk membuat pilihan antara berlaku
jujur dan berlaku setia (atau bertanggung jawab) kepada orang lain. Apakah kita
akan jujur menyampaikan informasi berdasarkan fakta atau kita menjunjung nilai
kesetiaan pada profesi, kelompok tertentu, atau komitmen yang telah dibuat
sebelumnya.
4.
Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long
term), paradigma ini paling sering terjadi dan mudah diamati. Kadang
perlu untuk memilih antara yang kelihatannya terbaik untuk saat ini dan yang
terbaik untuk masa yang akan datang. Paradigma ini bisa terjadi di level
personal dan permasalahan sehari-hari.
Secara umum
ada tiga prinsip yang seringkali membantu dalam menghadapi pilihan yang penuh
tantangan, yang harus dihadapi pada dunia saat ini. (Kidder, 2009, hal 144).
Ketiga prinsip tersebut adalah: Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based
Thinking), Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking),
Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking). Selain
memepertimbangkan ketiga prinsip tersebut, perlu dianalisis 9 langkah yang
telah disusun untuk memandu guru dalam mengambil dan menguji keputusan dalam
situasi dilema etika, karena adanya beberapa nilai-nilai yang bertentangan,
yaitu:
1.
Mengenali bahwa ada nilai-nilai yang saling
bertentangan dalam situasi
2.
Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini.
3.
Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini.
4.
Pengujian benar atau salah terdiri dari : Uji legal,
Uji regulasi/standar professional, Uji intuisi, Uji halaman depan
Koran, Uji panutan/idola.
5.
Pengujian paradigma benar lawan benar
6.
Melakukan prinsip resolusi
7.
Investigasi opsi trilema
8.
Buat keputusan
9.
Lihat lagi keputusan dan refleksikan
Pembahasan
di modul 3.1 tentang pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran sangat
erat hubungannya dengan pandangan Ki Hajar Dewantara dengan filosofi Pratap
Triloka, serta memiliki pengaruh terhadap bagaimana sebuah pengambilan
keputusan sebagai seorang pemimpin pembelajaran diambil.
Trilogi
kepemimpinan Ki Hajar Dewantara ini meliputi : Ing ngarsa sung tuladha (di
depan memberi contoh), Ing madya mangun karsa (di tengah
memberikan dorongan), Tut wuri handayani (di belakang selalu
menyemangati). Melalui pemahaman mendalam akan filosofi pendidikan Ki Hadjar
Dewantara serta melakukan praktek refleksi-kritis atas korelasi nilai-nilai
tersebut dengan konteks pendidikan lokal dan nasional secara kekinian, maka
guru akan mampu menjalankan strategi sebagai pemimpin pembelajaran, yang
mengoptimalkan upaya terwujudnya sekolah sebagai pusat pengembangan
karakter dengan budaya positif.
Pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran juga erat hubungannya
dengan nilai-nilai dan peran guru penggerak. Dimana peran guru penggerak
yaitu merumuskan nilai-nilai diri yang selaras dengan upaya mewujudkan murid
merdeka, membuat rencana perubahan diri yang akan mendukung penguatan nilai dan
peran mereka sebagai guru penggerak, serta menginternalisasi nilai-nilai
diri dan perannya sebagai guru penggerak untuk mewujudkan komunitas pembelajar
sepanjang hayat dan menerapkan budaya positif di lingkungan sekolahnya. Nilai
–nilai dan peran guru penggerak seperti berkarakter, mandiri, kolaborait,
inovatif dan memiliki moral dan etika dari guru penggerak akan sangat
mempengaruhi cara pandang guru tersebut dalam pengambilan keputusan yang tepat
sebagai pemimpin pembelajaran.
Lalu bagaimana hubungan coaching dengan pengambilan keputusan
sebagai pemimpin pembelajaran? Ada hubungan yang erat dimana kita
pahami keterampilan coaching perlu dikuasai oleh
seorang guru. Mengapa keterampilan coaching? Coaching diperlukan
karena murid dipandang sebagai individu/pribadi hidup yang merdeka.
Sosok yang dapat menentukan arah dan tujuan pembelajarannya, serta meningkatkan
potensinya sendiri. Mereka hanya memerlukan dorongan dan arahan dari guru
sebagai pemimpin pembelajaran untuk melejitkan potensi mereka. Tentunya ini menjadi
tantangan tersendiri, karena sebagai pemimpin pembelajaran terkadang guru
tergoda untuk berupaya membantu permasalahan murid secara langsung dengan
memberikan solusi dan nasehat. Melalui keterampilan coaching,
diharapan anak didik menjadi lebih kreatif dan dapat menyelesaikan masalahnya
sendiri, serta dapat meningkatkan potensi dalam diri mereka.
Hal ini
selaras dengan arah paradigm pendidikan di era pembelajaran abad
21 yang menitikberatkan pada pengembangan keterampilan 4
C : Critical Thinking ( Berpikir
Kritis), Collaboration (Kolaborasi), Communication (Komunikasi),
dan Creativity (Kreativitas). dimana setiap individu harus terlibat dalam
pembelajaran berbasis inkuiri yang bermakna, memiliki nilai kebenaran dan
relevansi, untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi yang mereka
perlukan, dalam rangka
memungkinkan peserta didik berhasil dalam ragam lini pekerjaan bersifat
internasional, multikultural dan saling terkoneksi serta dalam kehidupan
melalui penguasaan keterampilan berpikir kreatif, pemecahan masalah yang
fleksibel, berkolaborasi dan berinovasi.
Melalui model TIRTA, guru juga diharapkan dapat menjadi pembelajar dengan
mengajukan pertanyaan mengarah pada prediksi hasil, serta dapat melihat beragam
opsi dari berbagai sudut pandang yang nantinya akan membantu guru agar mampu
mengambil keputusan dengan baik. Pendidik perlu melakukan praktik coaching di
komunitas sekolahnya serta dikembangkan dengan semangat merdeka belajar bagi
anak didik.
Pengambilan keputusan yang tepat akan berdampak pada terciptanya lingkungan
yang positif, kondusif, aman dan nyaman bagi anak didik. Lingkungan dan budaya
positif yang diterapkan di sekolah akan sangat mempengaruhi karakter dan
pribadi dari peserta didik dan seluruh pemangku kepentingan di lingkungan
sekolah yang nantinya juga akan tercermin dari bagaimana keputusan-keputusan
yang dilakukan dalam komunitas pembelajar tersebut. Ketika kita berupaya
menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus - kasus dilema etika juga ada
kesulitan - kesulitan yang dihadapi, yakni situasi bertentangan dengan
peraturan yang ada sehingga sulit untuk kita melaksanakan keputusan tersebut
karena tidak ada acuan bahwa keputusan yang sudah kita lakukan itu benar, serta
minimnya dukungan dari lingkungan di sekitar. Karena itu perlu bagi guru untuk
mengembangkan kompetensi dan keterampilan Sosial Emosional, praktek kesadaran
penuh (mindful) dalam aktifitas dan proses berpikir, sadar akan
berbagai pilihan dan konsekuensinya.
Pengambilan keputusan yang baik dan tepat dapat dibuat dengan adanya dorongan
kepercayaan diri dan keberanian, serta didukung dengan visi dan misi yang ada
di sekolah sehingga dapat mewujudkan merdeka belajar pada anak didik. Cara
mengajar guru, bagaimana proses pengambilan keputusan dan komitmen guru adalah
kunci utama untuk mewujudkan merdeka belajar pada anak didik. Kayanya
pengalaman, besarnya rasa empati, dan adanya ragam perispektif guru akan
menjadi faktor penting bagi proses pengambilan keputusan
yang bijak berdasarkan pada nilai nilai kebajikan universal, berpihak pada
murid, dan dilandasi rasa tanggung jawab yang besar. Penting bagi setiap
pendidik untuk menyadari bahwa diri kita adalah teladan hidup bagi anak didik, gurulah
yang akan menjadi barometer awal dalam mewujudkan profil pelajar Pancasila,
seyogyanya pendidik selalu mengacu pada kompetensi guru dalam pengambilan
keputusan.
Salam dan
Bahagia
