Bahasa Indonesia yang Baik
Bahasa
Indonesia yang baik adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan norma
kemasyarakatan yang berlaku. Misalnya, dalam situasi santai dan akrab, seperti
di warung kopi, di pasar, di tempat arisan, dan di lapangan sepak bola
hendaklah digunakan bahasa Indonesia yang santai dan akrab yang tidak terlalu
terikat oleh patokan. Dalam situasi resmi, seperti dalam kuliah, dalam seminar,
dalam sidang DPR, dan dalam pidato kenegaraan hendaklah digunakan bahasa
Indonesia yang resmi, yang selalu memperhatikan norma bahasa.
Bahasa Indonesia yang Benar
Bahasa
Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan
kaidah atau aturan bahasa Indonesia yang berlaku. Kaidah bahasa Indonesia itu
meliputi kaidah ejaan, kaidah pembentukan kata, kaidah penyusunan kalimat,
kaidah penyusunan paragraf, dan kaidah penataan penalaran. Jika ejaan digunakan
dengan cermat, kaidah pembentukan kata diperhatikan dengan saksama, dan
penataan penalaran ditaati dengan konsisten, pemakaian bahasa Indonesia dikatakan
benar. Sebaliknya, jika kaidah-kaidah bahasa itu kurang ditaati, pemakaian
bahasa tersebut dianggap tidak benar.
Bahasa Indonesia yang Baik dan
Benar
Bahasa Indonesia yang baik dan
benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan norma kemasyarakatan
yang berlaku dan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Pemakaian
lafal daerah, seperti lafal bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan Batak dalam berbahasa
Indonesia pada situasi resmi sebaiknya dikurangi. Kata memuaskan yang
diucapkan memuasken bukanlah lafal bahasa Indonesia.
Pemakaian
lafal asing sama saja salahnya dengan pemakaian lafal daerah. Ada orang yang
sudah biasa mengucapkan kata logis dan sosiologi menjadi lohis dan sosiolohi.
Jika demikian, bagaiman dengan kata gigi? Apa dilafalkan hihi?
KESALAHAN PENERAPAN KAIDAH EJAAN
Pada
bagian ini dibahas tentang kesalahan-kesalahan penerapan kaidah Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan yang sering kita jumpai dalam pemakaian bahasa
Indonesia. Setelah disajikan bentuk-bentuk yang salah (nonbaku), disajikan pula
bentuk-bentuk yang benar (baku) sebagai perbaikanya. Mudah-mudahan
bentuk-bentuk perbaikan itu akan mengingatkan kita semua, pemakai bahasa,
selalu berhati-hati dalam menerapkan kaidah ejaan ini. Hal ini disajikan secara
rinci di bawah ini.
PELAFALAN
Memuaskan
Dalam bahasa Indonesia terdapat
akhiran –kan, bukan –ken. Sesuai dengan tulisannya, akhiran itu
tetap dilafalkan dengan [-kan], bukan [-ken]. Sementara ini memang ada orang
yang melafalkan kata seperti memuaskan
dengan [memuasken], diharapkan
dengan [diharapken], diperhatikan dengan [diperhatiken]. Akan tetapi,
pelafalan seperti itu jelas tidak tepat karena dalam bahasa Indonesia apa yang
ditulis itulah yang dilafalkan.
Timbulnya
pelafalan yang tidak tepat itu di samping dipengaruhi oleh idiolek seseorang,
juga besar kemungkinan dipengaruhi oleh lafal bahasa daerah. Sungguhpun
demikian, pemakai bahasa yang memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia
tentu tidak akan mengikuti cara pelafalan yang tidak tepat. Sebaliknya akan
terus berusaha meningkatkan kemampuannya dalam berbahasa Indonesia, termasuk dalam
pelafalannya.
Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar
memang tidak semudah yang diduga orang. Kendati demikian, dalam berbahasa,
terutama dalam situasi yang resmi, lazimnya orang selalu berusaha menggunakan
bahasa sebaik-baiknya, baik dalam penggunaan kaidah tata bahasa maupun
pelafalannya.
Masyarakat
kita yang berlatar belakang bahasa pertama bahasa daerah tampaknya memang
sering mengalami kesulitan dalam menghilangkan pengaruh bahasa daerahnya ketika
berbahasa Indonesia. Pengaruh itu terutama terlihat jelas dalam pelafalannya.
“Penyakit” itu agaknya tidak hanya terjadi pada masyarakat awam, tetapi juga
pada orang tertentu yang kebetulan menjadi pejabat pemerintah. Contohnya tidak
hanya pada kata tersebut di atas, tetapi juga pada kata lain, seperti makin,
malam, kedudukan. Menurut aturan lafal bahasa Indonesia, kata-kata itu
seharusnya dilafalkan dengan [makin],
[malam], [kedudukan], bukan dengan [mangkin], [malem], [kedudu’an]. Lafal yang terpengaruh bahasa daerah itu
dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik harus kita hindari karena lafal
bahasa Indonesia yang baik adalah lafal yang tidak menampakkan pengaruh atau
atau ciri-ciri lafal daerah atau dialek tertentu.
Energi
Kata energi sering
dilafalkan dengan [energi], [enerkhi],
dan [enerji]. Kata energi dalam bahasa Indonesia diserap dari kata asing
energie (Belanda) atau energy (Inggris). Sesuai dengan nama huruf
di dalam abjad bahasa Indonesia, huruf g tetap dilafalkan dengan [g], bukan [kh] atau
[j], begitu pula halnya dengan huruf g yang terdapat pada kata energi. Oleh
karena itu, pelafalan yang baku untuk kata energi adalah [energi], bukan
[enerkhi] atau [enerji].
Pelafalan
g dengan [kh] diduga merupakan pengaruh dari lafal bahasa Belanda, sedangkan
dengan [j] diduga merupakan pengaruh dari lafal bahasa Inggris. Dalam berbahasa
Indonesia yang baik, pelafalan yang terpengaruh bahasa asing itu patut kita
hindari karena lafal bahasa Indonesia yang baik adalah lafal yang tidak menampakkan
pengaruh dari bahasa lain, baik bahasa daerah maupun bahasa asing.
Beberapa
contoh pelafalan kata yang serupa dapat diperhatikan di bawah ini.
Kata Lafal Baku Lafal Tidak Baku
biologi [biologi] [biolokhi],
[bioloji]
teknologi [teknologi] [tehnolokhi],
[tehnoloji], [teknoloji]
filologi [filologi] [filolokhi],
[filoloji]
sosiologi [sosiologi] [sosiolokhi],
[sosioloji]
fonologi [fonologi] [fonolokhi],
[fonoloji]
Huruf e
Huruf e dalam bahasa Indonesia
mempunyai tiga macam bunyi, yaitu [e], [ ], dan [ ]. Ktiga bunyi itu
penulisannya tidak dibedakan dan dilambangkan dengan satu huruf, yaitu e. Oleh
sebab itu, kemungkinan para pemakai bahasa melafalkan huruf itu secara tidak
tepat sudah merupakan suatu hal yang dapat diduga.
Kesalahan yang banyak kita dengar
dewasa ini adalah bercampur aduknya bunyi e pepet
[ ] dan e benar
[e] . Kata-kata yang seharusnya dilafalkan dengan e pepet dilafalkan orang
dengan e benar, demikian juga sebaliknya.
Pada
kata teras huruf e dapat dilafalkan dengan e
benar/taling) [e] atau e pepet [ ]
dengan makna yang berbeda. Jika dilafalkan dengan dengan e taling, kata teras berarti serambi atau emper,
sedangkan jika dilafalkan dengan e pepet kata teras berarti ‘inti’, misalnya pejabat teras berarti ‘pejabat
inti’.
Kata-kata
seperti pegang, kemana, mengapa yang
seharusnya dilafalkan dengan e pepet,
sering dilafalkan dengan e keras/taling. Sebaliknya, kata-kata seperti lengah, ide yang semestinya dilafalkan dengan e keras, dilafalkan dengan e
pepet.
Kata esa pada Tuhan Yang Maha Esa sering
dilafalkan dengan orang dengan e benar. Lafal yang benar adalah dengan bunyi e
pepet karena e pada awal kata itu lemah bunyinya. Bunyi e itu lama kelamaan
hilang lalu esa menjadi sa. Dalam bahasa Indonesia sa itu berubah menjadi se dan karena terdiri atas satu suka
kata, dituliskan sebagai awalan seperti kita lihat pada kata-kata sebatang, sebuah, semalam, sehari;
artinya ‘satu’.
Pasca dan Civitas academika
Kata
pasca dan civitas academica berasal dari bahasa yang berbeda.
Kata pasca berasal dari bahasa Sansekerta, sedangkan civitas
academica dari bahasaLatin. Oleh karena asalnya berbeda, cara melafalkannya
pun tidak sama.
Huruf
c pada kata pasca, sesuai dengan
bahasa asalnya, dilafalkan [c], bukan [k]. Sejalan dengan itu, kata pasca
pun dalam bahasa kita dilafalkan dengan [pasca], bukan [paska], misalnya pada pascapanen
[pascapanen] dan pascasarjana [pascasarjana]. Di dalam kamus pun tidak
ada keterangan yang memberi petunjuk bahwa pasca harus dibaca dengan
[paska]. Oleh karena itu, pascapanen dan pascasarjana tidak
dilafalkan dengan [paskapanen] dan [paskasarjana], tetapi dilafalkan dengan
[pascapanen] dan [pascasarjana]. Bandingkan pelafalan pasca dengan panca,
yang juga merupakan unsur serapan dari bahasa yang sama, yaitu Sansekerta.
Dalam hal ini panca pun dilafalkan dengan [panca], bukan [panka],
misalnya pada kata pancasila dan pancakrida.
Huruf
c dari bahasa Latin, seperti
halnya dari bahasa Inggris, tidak dolafalkan dengan {c], tetapi di satu pihak
huruf itu dapat dilafalkan dengan [s], dan di pihak lain dapat pula dilafalkan
dengan [k]. Huruf c asing, sesuai dengan penyerapannya, dilafalkan dengan [s]
jika huruf itu terdapat di muka e, i, oe, dan y.
Misalnya:
cent ------ sen
central
--------
sentral
circulation
----- sirkulasi
coelom -------- selom
cylinder-------- silinder
Adapun c asing dilafalkan dengan [k] jika
huruf itu terletak di muka a, u, o dan konsonan.
corelation ---------- korelasi
calculation ---------- kalkulasi
cubic ---------- kubik
construction ---------- konstruksi
classification ---------- klasifikasi
Sejalan dengan keterangan itu, huruf c pada
civitas pun dilafalkan dengan [s] karena terletak di muka i, tetapi pada academica
c dilafalkan dengan [k] karena terletak di muka a. Dengan demikian, civitas
academica dilafalkan dengan [sivitas akademika], bukan [civitas academica].
Singkatan dan Akronim Asing
Singkatan dan akronim asing pelafalannya diperlakukan agak berbeda
dengan singkatan dan akronin bahasa Indonesia. Sebagai singkatan, huruf dari
bahasa mana pun dilafalkan menurut abjad
bahasa Indonesia. Oleh karena itu, singkatan asing pun dilafalkan seperti
halnya lafal bahasa Indonesia.
Misalnya:
Singkatan Lafal
Baku Lafal Tidak
Baku
FAO [ef-a-o] [ef-ey-ow]
IGGI [i-ge-ge-i] [ay-ji-ji-ay]
DO [de-o] [di-ow]
BBC [be-be-ce]
[bi-bi-si],
[be-be-se]
AC [a-ce] [ey-si],
[a-se]
WC [we-ce] [we-se],
[dablyu-si]
TV [te-ve] [ti-vi]
TVRI [te-ve-er-i] [ti-vi-er-i]
Dahulu, ketika
bahasa Indonesia masih menggunakan ejaan lama, singkatan BBC, AC, dan WC,
pelafalannya [be-be-se], [a-se], dan [we-se] karena pelafalan itu sesuai dengan
nama huruf c dalam ejaan lama, yaitu se.
Akan tetapi, sejak EYD diresmikan dan nama huruf c diubah menjadi [ce]. Dengan
demikian, BBC, AC, dan WC, pelafalannya yang baku adalah [be-be-ce].[a-ce], dan
[we-ce] karena disesuaikan dengan nama hurf c yaitu ce, sedangkan [be-be-se],
[a-se], dan [we-se] dipandang sebagai lafal yang tidak baku.
Dalam hubungan itu,
singkatan asing tidak dilafalkan dengan lafal asingnya karena dapat menyulitkan
para pemakai bahasa Indonesia. Jika singkatan dari bahasa Inggris harus
dilafalkan menurut huruf dalam bahasa Inggris, misalnya, bagaimana kalau kita
dihadapkan pada singkatan dari bahasa asing yang lain, seperti Prancis, Rusia,
Jerman, dan Jepang? Berapa banyak masyarakat kita yang mengenal nama huruf di
dalam bahasa-bahasa itu? Bagaimana pula melafalkan huruf dalam bahasa-bahasa
itu, tentu tidak banyak yang tahu.
Dengan pertimbangan
bahwa orang Indonesia yang paham bahasa Indonesia dengan abjadnya lebih banyak
daripada jumlah orang yang mengenal bahasa asing dengan abjadnya, sebaiknyalah
singkatan dari bahasa mana pun, demi kejelasan informasi yang akan disampaikan
kepada masyarakat luas, dilafalkan menurut nama huruf yang terdapat dalam abjad
bahasa Indonesia. Jadi, singkatan asing
yang terdapat dalam bahasa Indonesia tetap dilafalkan sesuai dengan lafal
bahasa Indonesia.
Berbeda halnya
dengan singkatan, akronim lazimnya dipandang seperti kata biasa. Dalam hal ini,
akronim asing pun dipandang identik dengan kata asing. Kalau kata asing dilafalkan mengikuti lafal
aslinya, akronim asing pun dilafalkan sesuai dengan lafal akronim itu dalam
bahasa asalnya. Dengan demikian, akronim asing yang digunakan dalam bahasa
Indonesia, terutama yang pemakaiannya sudah bersifat internasional, dilafalkan
sesuai dengan lafal bahasa aslinya.
Misalnya”
Akronim Lafal Baku Lafal Tidak Baku
Unesco [yunesko] [unesko]
Unicep [yunisyep] [unicep]
Di
samping akronim dan kata asing, unsur
serapan yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, yang masih
ditulis dengan ejaan asing pelafalannya pun disesuaikan dengan lafal bahasa
asingnya.
Misalnya:
reshufle
tetap dilafalkan [riesafel]
shuttlecock
tetap dilafalkan [syatelkak]
Angka Tahun dan Angka 0
Sampai
saat ini pelafalan angka tahun dan angka memang cukup bervariasi. Tahun 1989,
misalnya, ada yang melafalkan dengan [satu-sembilan-delapan-sembilan] atau
angka demi angka, tetapi ada pula yang melafalkannya dengan [sembilan
belas-delapan sembilan]. Di samping itu, juga tidak sedikit yang melafalkannya
dengan [seribu sembilan ratus delapan puluh sembilan]. Dari berbagai variasi
itu, pelafalan yang dipandang resmi adalah yang terakhir, yaitu seribu sembilan
ratus delapan puluh sembilan. Pelafalan itu pulalah yang sebaiknya digunakan,
sedangkan dua pelafalan lainnya dipandang tidak baku.
Angka 0 berarti
‘kosong’ atau ‘tidak ada apa-apanya’. Dalam bahasa kita pelafalan angka itu
yang sebaiknya digunakan adalah [nol], bukan [kosong]. Misalnya, nomor telepon
306039 dilafalkan dengan [tiga-nol-enam-nol-tiga-sembilan], bukan
[tiga-kosong-enam-kosong-tiga-sembilan].
Pelafalan angka 0
dengan [kosong] kemungkinan dipengaruhi oleh bahasa Inggris zero, yang dalam
bahasa kita memang sering diterjemahkan dengan kosong.
********************ADARMA********************