Bukannya aku menyombongkan
diri, memang aku
tergolong orang yang
beruntung dibandingkan teman-temanku. Sejak SD, SMP,
sampai sekarang duduk
di bangku SMA,
aku selalu masuk
peringkat tiga besar
di dalam kelas. Alhamdulillah, setelah
duduk di bangku
kelas tiga, aku
selalu di peringkat
satu, walaupun terkadang
hanya berbeda satu
nilai dengan peringkat
dua.
Sejak masuk di SMA, aku
selalu memotivasi diriku
untuk lebih giat belajar supaya
nilai yang baik,
dan kelas bebas
test masuk di
fakultas kedokteran UNHAS
nantinya. Menjadi dokter
ingin membantu masyarakat,
aku ingin mengobati
mereka, bukankah biaya
berobat sangat mahal?
Pada hari Sabtu
sekitar pukul 16.00,
aku pergi ke
rumah tanteku, di
sana akan ada
acara aqiqah pada
hari Minggu. Aku membantu
keluarga di sana.
Pada Sore hari,
aku pulang ke
rumah.
Minggu ini, hampir
semua guru bidang
studi di kelasku
akan memberi ulangan. Besok
hari Senin, ada
lagi mata pelajaran
yang akan diulangankan,
bahasa Inggeris, biologi, dan
PKn. Kubuka buku bahasa
inggerisku, aku sungguh
kesulitan menguasainya karena
ada wacana yang
masih banyak kosa
katanya belum kuhapal,
sedangkan biologi cepat
kupahami karena hanya
membahas organ tubuh
manusia, sedangkan buku
PKn kalau sudah dibaca,
sudah cukup.
”Arma, Arma, Arma, bangun! sudah
jam enam,” teriak
ibuku.
”Iya, Bu,”
kataku dengan mata
terpejam.
Kuambil
jam wekerku, ternyata
sudah pukul 06:05. Aku
heran, aku heran
mengapa aku tidak
mendengar deringannya, jadi
kemungkinan terlalu lelah
membantu tenteku kemarin.
Aku
mandi dengan tergesa-gesa. Berpakaian kemudian
kuambil secarik kertas,
kubuka buku bahasa
Inggerisku, kucatat vovabulary
yang belum kuhapal. Yach,
kira-kira 20 kata,
kusimpan di saku
bajuku.
”Bu, Arma
pergi dulu yach!”
”Mengapa
tak sarapan dulu/”
tanya ibuku.
”Tak usah,
Bu. Sekarang sudah
pukul tujuh, hari
ini upacara,” jawabku. Aku
berangkat dengan mengenderai
angkot jurusan sekolahku,
ternyata upacara sudah
dimulai. Aku terlambat dan
harus menjalani hukuman
memungut sampah sebelum
masuk ruangan kelas.
Ulangan
belum dimulai. Aku bersyukur
karena namaku belum
disebut, setelah pak
guru menyebut lima
nama temannku, menyusullah
namaku, aku pun
menaikkan buku bahasa
Inggerisku di atas
meja guru.
”Sediakan
kertas lembar. Buku, tas
dan sebagainya dimasukkan
di dalam laci
meja,” perintah guruku
dengan lantang.
”Kalian
sudah belajar tadi
malam”
”Iya
Pak.” jawab kami
serentak.
”Arma,
mulai berhitung dari
angka satu,” tunjuk
guruku ke arah
diriku.
Begitulah
sistem guru bahasa
Inggerisku kalau memberikan
ulangan. Kami berhitung dari nomor
1 sampai 30 jumlah
ini dibagi dua,
ganjil dan genap,
aku mendapat nomor
sembilan berarti nomor
ganjil.
Pak
guru pun mem-bacakan soalnya secara
bergantian, ganjil kemudian
genap. Setelah cukup sepuluh
nomor, kami pun
disilakan untuk mengerjakannya.
Kubaca
kembali soal-soal ternyata
hanya enam nomor
yang kuketahui.
”Pak,
apakah bisa tidak
berurutan nomornya?” tanya
temanku.
Guruku memang
kompromi, dia hanya
duduk di kursi,
tapi matanya, bagai
mata kucing di
malam hari. Ia
menatap kami satu per satu,
membuat aku grogi
dan takut jika
bertemu pandang pandang
dengannya.
Sudah
enam nomor kukerjakan,
jadi tinggal empat
nomor, kulirik teman-temannku di
samping kananku. Mereka
semua asyik menulis.
Kulirik Rini di
samping kiriku, dia
sedang membuka catatan
kecil yang biasa
disebut pelampung. Kemudian dengan
tenangnya membuka dan
menulis di kertas
jawabannya.
Aku
melirik pak guru
yang duduk di
mejanya bagai patung. Ternyata dia
menatapku, dengan cepat
kepalaku kutundukkan ke
bawah. Kuulangi mambaca
soal-soal yang belum
kekerja. Yach, tinggal nomor
2,3,8, dan 9.
aku ingat, jawaban
nomor 3 dan 8 ada
di catatan yang
kukantongi tadi. Kulirik
saku bajuku, aku
lihat kertas itu,
timbul keinginanku untuk
membukanya.
Tapi,jika
aku membukanya itu berarti
aku melanggar atau
korupsi. Padahal aku pantang
melakukan perbuatan seperti
ini. Tapi jika
aku tak membukanya,
aku khawatir akan
mendapatkan nilai rendah.
Begitulah pikiran yang
bolak-bolak di pikiranku.
Aku
mengangkat kepalaku dan
melirik guru, rupanya
ia pun melihat
ke arahku. Aku pura-pura
menulis di kertas
jawaban, lalu kulirik
di samping kiriku,
ada Andi yang
duduk sejajar denganku,
sebentar-sebentar mumbuka dan
menutup kepalaan tangannya. Ternyata di
dalam genggamannya, ada
secarik kertas yang
kecil. Kulirik kembali
Rini, ia juga
sekali-kali melihat catatan yang
berada di bawah
kertas jawabannya.
Kutatap
pak guru kembali,
tapi belum sempat
melihat matanya, kualihkan
peng-lihatannku, kujatuhkan pulpenku,
kemudian pura-pura
mengambilnya kembali.
Kuyakinkan
diriku untuk berbuat
seperti Rini dan
Andi, tapi tubuhku
makin gemetar. Dengan perasaan
takut dan cemas,
kuangkat tangannku kualihkan
ke kantong bajuku untuk
mengambil secarik kertas. Aku
tak bisa tenang,
pikiranku kacau balau. Bagaimana caranya ? Bagaimana kalau
Pak Guru melihatku ? Ah, mungkin
ini hanya perasaannku
saja, kuyakinkan diriku
bahwa pak guru
tidak melihatku. Kucoba menenangkan
diri, kubuka kertas
itu di depan
meja.
Betapa
kagetku, ternyata pak
guru sudah berdiri
di sampingku, dia mengambil
kertas itu dari
tanganku.
”Anu, anu, anu
pak,” jawabku tanpa
ditanya.
”Apa
ini?” tanya guruku. Aku
gugup, aku takut, aku
melihat temanku, semua
pandangan mengarah kepadaku. Mereka sepertinya
mengejekku. Aku bagai disambar
petir, aku tertunduk
malu.
Bel
berbunyi panjang tanda
istirahat. ”Kumpul, ayo
kumpul,” teriak pak
guru.
Kami pun
mengumpu-lkannya, setelah suasana
tenang, Pak Guru
memanggilku, ia menyodorkan
ke atas dan
menyuruh membacanya.
”Kalian
ikuti Arma, supaya
kalian menghapal vocabulary
itu,”
Aku
pun membacanya, lalu
teman-temanku mengikutinya. Setelah
selesei kubaca, aku
kemudian duduk di
tempatku kembali. Pikiranku kacau
balau. Malu dan sakit
hati ini. Aku ingin
menjerit bahwa aku
tidak pernah melihat
catatan. Baru kali ini
aku mencobanya, dan
sialnya tertangkap basah
pula. Aku bagaikan dikuliti
oleh Pak Guru.
Kunasihati
diriku, memang aku
yang salah, bukannya
melihat catatan ketika
ulangan sama halnya
korupsi. Yach, bukankah kau
korupsi ilmu pengetahuan. Di era
sekarang ini, korupsi
akan diberantas sampai
sekecil-kecilnya. Tapi ini tak
adil, mengapa hanya
aku, yang diambil
catatanya, padahal banyak
teman yang melihat
catatan. Ini berarti, banyak
temanku yang juga
koropsi ilmu pengetahuan.
Bagaimana
kamu dapat meraih
cita-citamu, kalau kamu
berlaku curang.
Kubangkitkan
semengatku kembali. Kubuang rasa
malu dan grogi,
bukankah mereka juga
sering tertangkap basah. Aku
keluar menuju kantin
untuk mengisi perut
yang sudah merintih
sejak tadi.
Sambil makan kubayangkan diriku bagaimana kelak 30
tahun yang akan datang, teringat tayangan-tayangan di TV bagaimana koruptor
diborgol tangannya. Ya Allah, jauhkan aku dari perbuatan seperti itu. Aku tidak
ingin jadi koruptor, aku ingin jujur,
aku ingin melihat negeraku bebas dari koruptor, bebas dari ketidakjujuran. Aku
ingin negaraku jadi negara makmur dan jaya. Amin
******************